Kamis, 09 Februari 2012

Feminisme kekuasaan dan Korupsi


Oleh : DHARMA SETYAWAN
Public Policy KAMMI Kota Yogyakarta

Perempuan dalam kekuasaan perlu mendapat tempat yang baik untuk mendapatkan hak nya sebagai manusia. Ziper System sebagai penghormatan negara terhadap perwakilan perempuan di ranah kepemimpinan memang telah lama digagas. Dengan harapan dari tiap 3 perwakilan ada 1 perempuan yang mewakili di tingkat kepemimpinan. Namun rakyat (baca: wanita khusunya) masih apriori dengan keberadaan perempuan untuk menjadi wakil mereka di pemerintahan. Amerika yang menyatakan sebagai negara demokratis pun belum ada dalam sejarah memilih pemimpin perempuan. Indonesia sebagai negara new democrasi, telah memunculkan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden Republik Indonesia. Keberadaan perempuan sudah mulai dihargai sebagai bentuk implementasi ziper system.

Perempuan dan Relasi Kuasa
Namun perempuan dalam lingkup kekuasaan juga tidak menjamin mampu untuk memberi tempat teduh bagi para perempuan yang berharap terwakili oleh keberadaan mereka. Selain itu kancah perempuan dalam bergelut lingkup kekuasaan dan dunia usaha semakin memberi warna gelap bagi wanita untuk berkiprah dalam kancah demokrasi dan modernisme hidup. Jika dulu Plato berusaha menerapkan sistem republik di kota dan prinsip persamaan perempuan dengan laki-laki di sektor-sektor pendidikan dan kebudayaan. Tetapi Plato gagal menerapkannya karena kritikan para pakar dan filosof pada waktu itu. Bahkan Aristoteles membenarkan, bahwa alam tidak membekali perempuan dengan kemampuan berfikir. Aristoteles menyebut “perempuan bagi laki-laki seperti budak kepada tuannya”. Perempuan bagi pandangan Aritoteles sangat menggambarkan betapa kejamnya masyarakat masa lalu menganggap perempuan adalah sosok lemah, tempat penindasan, dan objek kesewenang-wenangan para laki-laki.

Apa yang diungkapkan aristoteles kala itu memang menyudutkan perempuan sebagai gender lemah dan tidak berdaya. Namun pada konteks praksisnya telah banyak wanita yang mampu merubah tatanan dunia. Kita bisa melihat bagaiamana perlawanan yang dilakukan oleh Al-Bisysyi (ratu Persia), Bandranika (srilanka), Indira Ghandi (India), Fathimah Ali Jinah (Pakistan), Margareth Teacher (Inggris), Corazon Aquino (Philipina), Golda Mesir (Israel). Di Indonesia sendiri banyak para perempuan yang memainkan perannya dalam perjuangan kemerdekaan Cut Nyak Dien, R.A Kartini, Fatmawati, dll. Piagam PBB pun pada pendahuluannya telah desebutkan “Kita masyarakat Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bersumpah kepada diri kita untuk menegaskan lagi kepercayaan pada hak-hak politik, harkat dan martabat manusia. Dan bahwa laki-laki, perempuan dan seluruh anggota masyarakat baik besar maupun kecil mempunyai hak yang sama.”

Masalah hak perempuan dalam pencalonan memiliki dua dimensi yaitu perempuan menjadi anggota parlemen dan ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen. Syariat Islam memberikan kesempatan kepada perempuan dalam kewenangan umum dan kewenangan khusus. Perempuan memiliki kekuasaan seperti yang dimiliki laki-laki, sebagaiamana memiliki kekuasaan dalam mengatur kepentingan-kepentingan khusus dirinya. Ia pun memiliki hak dalam menggunakan hartanya dalam jual beli, hibah, gadai, persewaan dan sebagainya. Suaminya dan siapapun tidak mempunyai hak mencampuri urusan itu. Syariat menguasakan itu kepadanya dengan membimbingnya agar memelihara kehormatan dan kedudukannya. (DR.Muhammad Anis Qasim J, Perempuan dan Kekuasaan : 1998)

Feminisme Jerat Kuasa dan Korupsi
Namun akhir-akhir ini banyak para perempuan yang masuk dalam tarikan kekuasaan sampai terjerat korupsi. Mulai dari Artalita Suryani (Ayin) tersangka kasus suap jaksa Urip Trigunawan, Melinda Dee karyawan Bank yang menjadi tersangka pembobol rekening salah satu bank swasta, Mindo Rosalina tersangka kasus suap di Kemenpora, Andi Nurpati terlibat kasus surat palsu MK yang berujung pada proses kursi haram di DPR, Nunun Nurbaety tersangka suap cek pesawat ke anggota DPR bersama Miranda Gultom sebagai tokoh central yang terpilih menjadi Deputi Senior Bank Indonesia, Wa Ode Nurhayati politisi PAN yang menjadi tersangka mafia anggaran di DPR dan Neneng istri Nazaruddin sebagai pemegang beberapa proyek di beberapa proyek pemerintahan.

Apa yang terjadi pada perempuan dan pertumbuhan demokrasi Indonesia perlu kita renungkan kembali sebagai bentuk fenomena baru. Fenomena perempuan dalam permasalahan ini adalah gejolak feminisme dalam jerat kekuasaan dan korupsi. Perempuan yang terjun dalam kancah kekuasaan bisa menjadi positif atau negatif sebagaimana para laki-laki yang tidak jauh berbeda. Namun sikap skeptis masa lalu dan hari ini dalam pandangan masyarakat terhadap perempuan tidak pernah terungkap dalam dialektika-dialektika umum. Masyarakat cukup melakukan penilainan dan menganggap perempuan tetap menjadi bias gender yang selalu tidak mampu untuk mengurusi wilayah publik. Atas kasus beberapa wanita di atas kita patut prihatin, tapi dalam ranah masa depan para perempuan perlu melakukan behaviorisme posifistik sebagai bentuk mengembalikan nama baik perempuan pada kancah relasi kepemimpinan dan kekuasaan.

Apa yang terjadi pada kasus-kasus korupsi di Indonesia cukup memberikan argumen kuat bahwa perempuan sangat kental dalam ruang kuasa dan korupsi. Contoh kasus Antasari Azhar bersama Caddi golf Rani Juliani juga semakin membuktikan bahwa feminisme menjadi jerat kelemahan para pejabat untuk jatuh dalam cengkeraman kekuasaan depotisme. Anggapan ini juga tidak berlebihan mengingat banyak tokoh yang sudah tersangkut kasus dengan para perempuan-perempuan. Mulai dari Ulama, Anggota Dewan, Bupati, Gubernur dan perjabat lainnya. Feminisme menjadi petaka dalam kekuasaan sehingga korupsi menjadi bagian paling kuat untuk menjadi alasan terjadinya kasus. Feminisme hadir di tengah-tengah situasi kacau yang sedang terjadi terkait conflic of interest. Feminisme memang menjadi relasi yang cukup kuat dalam bentuk godaan para laki-laki dengan slogan negatif “harta, wanita dan tahta”.

Semoga hadirnya perempuan dalam kuasa tidak menjadi bentuk tindakan offside para wanita hadir di tengah situasi rumit negeri ini dalam menyelenggarakan negara. Gerakan feminisme dalam kekuasaan perlu memberikan anti tesis bagi para perempuan yang mengalami krisis kepercayaan publik untuk sama-sama menuntaskan kasus korupsi. Banyaknya gerakan feminisme dalam wilayah LSM, Ormas, Gerakan Mahasiswa dan sayap-sayap gerakan lain perlu membangun hubungan linier dengan pegiat anti korupsi. Jika kemudian hal ini terus berlangsung maka perempuan dalam kekuasaan akan semakin meneguhkan sikap negatif masyarakat untuk memberikan kepercayaannya kepada perempuan dan mimpi ziper system hanyalah mimpi kosong. Mimpi kosong itu pun hadir di tengah pesimisme bangsa yang tidak dapat membedakan lagi mana pemimpin laki-laki dan mana pemimpin perempuan yang faktanya semua menjadi generik dan koruptif jika sudah ada pada wilayah kekuasaan.

sumber : http://www.dharmasetyawan.com/2012/01/feminisme-kekuasaan-dan-korupsi.html

0 komentar:

Posting Komentar